Pengulas buku ‘Akidah Al-Thahaawiiyah
menyebutkan bahwa ada setan yang dijuluki manusia sebagai orang-orang gaib yang
bisa diajak bicara. Mereka mampu melakukan hal-hal yang luar biasa sehingga
mereka mengklaim dirinya sebagai Allah swt.
Mereka membantu kaum musyrik dalam
memerangi kaum muslim dan mengatakan bahwa Rasulullah saw. menyuruhnya
melakukan hal itu karena kaum muslim telah durhaka kepada Allah swt.
Setelah
itu beliau mengomentari, Sebenarnya, mereka adalah saudara-saudara kaum
musyrik.”
Beliau
menyebutkan bahwa dalam memandang orang-orang gaib, manusia terbagi ke dalam
tiga kelompok:
o
Kelompok
yang tidak mempercayainya. Akan tetapi, banyak orang yang telah menyaksikannya,
dan hal itu dikukuhkan oleh bukti yang kuat dari orang-orang yang pernah
melihatnya atau cerita orang-orang yang terpercaya. Mereka akan tunduk kepada
makhluk gaib itu jika mereka telah melihatnya sendiri.
o
Kelompok
yang mengakui makhluk gaib kemudian mengembalikan hal itu kepada takdir. Mereka
meyakini bahwna di dalam batin terdapat
suatu jalan menuju Allah swt. Yang berbeda dengan jalan yang ditempuh para
nabi.
o
Kelompok
yang sangat mudah mempercayai adanya wali di luar para rasul. Mereka
berpendapat bahwa Muhammad saw. adalah
rasul buat kedua golongan, jin dan manusia. Mereka mengagungkan
Rasulullah saw. , tetapi agama dan syariatnya.
Kemudian beliau
menjelaskan hakikat orang-orang itu dan para pengikutnya :
Sebenarnya
mereka itu adalah pengikut setan, dan orang-orang gaib itu tidak lain adalah para
jin. Mereka menamakan orang-orang sebagaimana Allah Swt. Menyebutnya, “ Ada beberapa orang manusia meminta
perlindungan kepada beberapa jin, sehingga mereka menambahkan kesombongan kepada para jin itu.” (Q.S. Al-Jin:6).
Sebab, manusia dapat disaksikan dan dilihat, akan tetapi mereka ini terkadang
terhalang tapi tidak selalu terhalang dari pandangan manusia. Orang yang
menyangka mereka termasuk manusia adalah orang-orang bodoh.
Menurut beliau :
Penyebab
perbedaan pendapat ketiga kelompok ini adalah tidak dibedakannya antara wali Allah dengan wali setan, dan tidak direfernsikannya
perbuatan, perkataan, dan kondisi orang-orang itu kepada Alquran dan sunah.
Jika sesuai dengan keduanya maka itu adalah benar, dan jika bertentangan
dengannya maka itu adalah salah. Selama tidak konsisten dengan Alquran dan
sunah, segala perbuatan dan kondisi yang diperlihatkan oleh seseorang tidaklah
mengindikasikan dirinya sebagai seorang mukmin atau wali, meskipun dia dapat
terbang di angkasa dan berjalan di atas air. (Syarh ‘Aqiidah Al-Thahawiiyah,
hlm.571-572).
Dengan
demikian, seorang mukmin harus memiliki standar yang dapt membedakan antara wali Allah dengan wali setan, antara orang-orang yang saleh
dengan yang tidak saleh. Jika tidak, maka ia akan tersesat dan melenceng,
menyangka musuh Allah sebagai wali-Nya atau sebaliknya. Standar itu adalah
Alquran dan sunah. Jika seseorang itu konsisten dengan keduanya maka dia akan
selamat dan mendapatkan nikmat. Tapi, jika ia tidak konsisten kepadanya maka ia
tidak perlu kita perhatikan, meskipun kita melihatnya mampu menghidupkan orang
yang sudah mati dan mengubah barang yang tidak berharga menjadi barang yang
berharga.
Wallahu a’lam.
Sumber : Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar
JIN, SETAN, dan IBLIS Menurut Alquran
dan Sunah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar